SETELAH LIMA RATUS TAHUN REFORMASI GEREJA 1 (Oleh: Pdt. Maarjes Sasela)


 

 Sejarah Singkat Reformasi

Tahun 2017 ini memiliki arti yang sangat penting bagi gereja masa kini, mengapa? Karena tahun ini, berkenaan dengan perayaan 500 tahun reformasi Luther (31 Oktober 1517 – 31 Oktober 2017). Martin Luther adalah tokoh dibalik sejarah gerakan reformasi yang kemudian kita semua mengenalnya sebagai reformator gereja di Jerman yang muncul pada abad ke-16. Luther dilahirkan pada tanggal 10 November 1483 dari sebuah keluarga petani di Eisleben, Thuringen, Jerman.

Jika kita melihat sekilas mengenai munculnya benih reformasi di hati Luther adalah ketika ia melihat keburukan-keburukan yang luar biasa dari para klerus (istilah umum yang terus-menerus dipakai dan dipergunakan untuk menggambarkan kedudukan kepemimpinan resmi dalam suatu agama tertentu terutama di kalangan Protestan dan Katolik Roma). Para klerus yang dianggap suci ternyata memiliki kebiasan menjalani hidup dengan seenaknya saja. Pada masa itu Luther menyaksikan nilai-nilai kekristenan sangat merosot, mirisnya hal itu justru terjadi di kota yang pada waktu itu dianggapnya suci, yaitu kota Roma. Dalam kekecewaannya itu Luther berkata, “Seandainya ada neraka, maka kota Roma telah dibangun di dalam neraka.”

Kembali ke Wittenberg

Setelah kembali dari Roma, Luther pindah ke biara Wittenberg pada tahun 1511. Di Wittenberg ini berkat dorongan dari Johann von Staupitz, Luther kembali belajar untuk menyelesaikan program doktornya. Pada tahun 1512 Luther memperoleh gelar doktor. Diam-diam Staupitz melihat bahwa Luther memiliki kompetensi diri yang layak untuk menjadi seorang mahaguru. Pada tahun 1502 di Wittenberg telah dibuka sebuah universitas baru oleh Frederick III yang Bijaksana. Suatu ketika Frederick mendengar khotbah Luther dan ia sangat bersimpati kepada Luther sehingga bermaksud mengajak Luther bergabung dalam lembaga yang didirikannya. Luther menerima tawaran tersebut dan ia diangkat oleh Frederick menjadi mahaguru di Universitas Wittenberg tersebut. Disamping itu, Luther diberi kepercayaan untuk mengawas dan mengurus sebelas biara serikatnya di Jerman.

Di Universitas Wittenberg ini, Luther mengampuh mata kuliah tafsiran kitab Mazmur, Surat Roma, Galatia, dan Surat ibrani. Dan mungkin tidak banyak yang tahu bahwa di tempat inilah permulan rohani Luther untuk mencari yang rahmani itu dimulai. Dari pergumulan yang begitu serius ini, Luther sampai pada sebuah penemuan yang kemudian merubah seluruh konsep keselamatan yang selama ini ia percayai. Dalam pergumulan spiritual itu, ia menemukan konsep yang baru tentang perkataan-perkataan Paulus secara khusus dalam Roma 1:16-17.

Luther mengartikan kebenaran Allah tidak lain daripada rahmat Allah atau kasih karunia Allah, yang bersedia menerima manusia yang berdosa, berbeban berat dan berputus asa dalam hidupnya. Luther secara tegas menolak konsep dibenarkan karena perbuatan baik manusia, atau karena menganggap dirinya layak untuk memperoleh keselamatan karena menganggap dirinya baik. Tentang hal ini Luther menulis, “Aku mulai sadar bahwa kebenaran Allah tidak lain daripada pemberian yang dianugerahkan Allah kepada manusia untuk memberi hidup kekal kepadanya; dan pemberian itu harus disambut dengan iman. Injillah yang menyatakan kebenaran yang diterima oleh manusia, bukan kebenaran yang harus dikerjakannya sendiri. Dengan demikian Tuhan yang rahmani itu membenarkan kita oleh rahmat dan iman saja. Aku seakan-akan diperanakkan kembali dan pintu Firdaus terbuka bagiku. Pandanganku terhadap seluruh Alkitab berubah sama sekali karena mataku sudah celik sekarang.”

Pemantik Reformasi Luther

Luther menyampaikan penemuan ini dalam kuliah-kuliah yang ia sampaikan, namun penemuan ini bukan menjadi pemantik bagi gerakan reformasi Luther. Titik pemantik menggeloranya gerakan reformasi Luther adalah ketika Paus Leo X mengeluarkan indulgensia atau surat penghapusan siksa yang dijual untuk membangun gedung Gereja Rasul Petrus di Roma dan dalam upaya pelunasan utang Uskup Agung Albrecht dari Mainz.

Dalam surat indugensia disampaikan bahwa setiap  orang yang membeli dan memiliki surat indulgensia, kemudian mengaku dosanya di hadapan imam maka dosanya diampuni dan kepadanya tidak tuntut lagi untuk membuktikan penyesalannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan untuk untuk meyakinkan  pembeli, para penjual surat indulgensia ini menyampaikan bahwa pada saat mata uang berdering di peti, jiwa akan melompat dari api penyucian ke sorga, karena surat indulgensia alat yang dapat menghapus dosa. Akan tetapi, bersamaan dengan itu kondisi gereja pada saat itu sangat memperihatinkan karena korupsi bebas merajalela tanpa ada yang mengendalikan.

Kondisi ini memaksa Luther untuk tidak berdiam diri menerima begitu saja penyimpangan teologis yang dilakukan oleh pihak gereja saat itu. Ia bangkit dan bergerak melawan kekuatan arus para penguasa saat itu, meskipun Luther sadar bahwa apa yang ia lakukan sangat beresiko bagi dirinya. Langkah awal yang ia lakukan adalah mengundang kaum intelektuan Jerman untuk mengadakan perdebatan teologis mengenai surat indulgensia tersebut. Untuk mewujudkan maksud tersebut, Luther merumuskan gagasannya yang kemudian dikenal dengan nama “Sembilan Puluh Lima dalil”. Di dalam sembilam puluh lima dalil merumuskan gagasan teologisnya yang kemudian ditempelkan di depan pintu gerbang gereja Istana Wittenberg, kejadian itu terjadi pada 31 Oktober 1517 yang kemudian ditetapkan sebagai hari Reformasi Gereja.

SETELAH LIMA RATUS TAHUN REFORMASI GEREJA 2 (Oleh: Pdt. Maarjes Sasela)


Dampak Gerakan Reformasi Terhadap Pertumbuhan Gereja.  

Reformasi telah memberi angin segar bagi pertumbuhan gereja yang cepat dan signifikan. Gerakan reformasi, mendorong kaum Protestan melakukan terobosan yang sangat luar biasa, Alkitab diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, lahir gereja-gereja yang beraliran Lutheran, Calvinis (Reformed, Presbiterian), Injili (Evangelis), Anglikan (Episcopal), Methodis, Pentakosta, dan lain-lain. Dapat dikatakatan reformasi bukan saja menyulut api perubahan terhadap sistem pemerintahan gereja yang korup dan manipulatif, tetapi juga menjadi penyulut api penginjilan yang sangat luar biasa untuk menjangkau dunia bagi Kristus.

Para reformator seperti Luther, Swingli,  Calvin, dan  lai-lain, adalah orang-orang yang telah melewati pergumulan teologis yang sangat ketat dan berat dan yang berhasil meletakkan dasar baru yang begitu kuat untuk membangun kehidupan rohani dan sistem pemerintahan gereja yang sesuai dengan Alkitab sebagai Firman Allah. Para reformator ini, rela menghadapi tantangan dan tekanan dari penguasa pada waktu itu dan mereka berhasil membuktikan diri bahwa mereka mereka melakukan semua itu dengan ketulusan dan kejujuran serta komitmen yang tinggi agar gereja kembali setia kepada Allah dan Firman-Nya.

Kondisi Gereja Setelah 500 Tahun Reformasi

Gerakan reformasi sudah mencapai usia lima ratus tahun, suatu usia yang sangat panjang, namun apa yang terjadi dengan gereja saat ini setelah lima ratus tahun reformasi berlangsung, apakah api reformasi itu masih menyala atau sudah redup dan hampir padam? Ini adalah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, tetapi kiranya pertanyaan ini dapat mendorong kita untuk melakukan kajian lebih dalam mengenai gereja dan perkembangannya setelah lima ratus tahun reformasi.

Jika kita melihat kondisi gereja saat ini dan mau jujur maka secara organisasi gereja saat ini tidak lebih baik dari masa sebelum reformasi, bahkan gereja di negara-negara yang notabene gerakan reformasi pertama digaungkan dan paling merasakan sentuhan gerakan reformasi itu (negara-negara Eropah) saat ini megalami kemunduran yang sangat tajam. Saat ini, Eropah tidak lagi dapat dikatakan negara dengan populasi Kristen terbanyak, bahkan banyak gedung gereja yang berubah fungsi dan jumlah anggota jemaat yang terus merosot dengan jumlah yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan karena masyarakat Kristen Eropah mengalami degradasi iman dan hal semakin diperburuk dengan sikap para klerus yang tidak dapat menjadi teladan.

Di negara kita, hari ini kantong-kantong Kristen mengalami krisis iman yang mengakibatkan gereja kehilangan anggotanya. Ada beberapa penyebab yang memengaruhi kondisi ini, antara lain karena pernikahan dengan orang yang tidak seiman, tetapi ini jumlahnya tidak banyak; karena pengaruh pergaulan, inipun jumlahnya relatif sedikit; yang paling signifikan adalah karena masalah kemiskinan. Kondisi kehidupan masyarakat gereja yang berada dalam lingkaran kemiskinan ini telah menjadi penyebab munurunnya jumlah anggota jemaat. Sayang sekali tidak semua gereja bersedia menyisihkan uangnya untuk membantu gereja yang jemaatnya masih berada di bawah garis kemiskinan.

Sementara dipihak lain, banyak gereja hanya sibuk mengurus diri sendiri, para pendeta dan hamba-hamba Tuhan sibuk berebut mimbar bagi kepentingan dirinya sendiri. Panggung gereja bukan lagi menjadi tenpat suci dimana Injil diberitakan dengan tulus iklas, panggung gereja telah berubah menjadi ajang mempopulerkan diri, bagaikan ajang pencarian bakat yang diadakan oleh beberapa stasiun televisi tanah air. Banyak gereja kehilangan identitas diri, karena takut kehilangan anggota jemaat, acara-acara yang dibuat lebih banyak mengadopsi gaya duniawi, kadang-kadang gereja terlihat, maaf seperti “night club”. Saya teringat sebuah lirik lagu yang dinyanyikan oleh group band legendaris dari wilayah Timur Indonesia yakni Black Brothers yang berkata, “… sadarlah kau cara hidupmu, yang hanya menelan korban yang lain, bintang jatuh hari kiamat, pengadilan yang penghabisan”.

Sudah saatnya gereja melakukan melakukan refleksi dan introspeksi diri mendalam mengenai penginjilan dilakukan sejak zaman para zending, tidak melihat konteks masyarakat yang dilayani. Jika pendekatan pekabaran Injil selama ini hanya menekankan pada unsur teologisnya maka sekarang saatnya melakukan perubahan. Dengan memahami konteks pelayanan kepada masyarakat Indonesia di pedesaan dan pedalaman, yang notabene masih hidup dibawah garis kemiskinan, seharusnya gereja menyadari bahwa ini masalah kita yang harus kita atasi bersama. Jika dulu para zending atau misionari yang datang hanya membawa Injil maka sekarang sudah saatnya gereja membawa perlengkapan lain untuk melengkapi jemaat menjadi terampil, misalnya dalam bercocok tanam, beternak, mengolah sendiri bahan makanan untuk dapat dijual dan cara bagaimana mereka mengolah dan meningkatkan ekonomi jemaat.

Bagaimana jemaat dan hamba Tuhan dapat melayani dengan tenang jika mereka hanya mendapat konsumsi rohani, sementara perut mereka dan anak-anak mereka lapar. Sudah saatnya, kita memikirkan kembali gereja yang sesuai dengan nafas dan cita-cita reformasi. Kiranya tulisan pendek ini dapat menjadi api untuk menyulut semangat kita melayani Tuhan dalam konteks dan dengan cara yang tepat.

Secara pribadi saya mempersembahkan tulisan ini, kepada para hamba Tuhan, aktivis gereja dan para pelayan Tuhan secara umum untuk dapat menjadi kesempatan memberi dorongan bagi para pelayan TUHAN untuk terus mengobarkan api reformasi dalam dengan cara semakin giat memberitakan kasih karunia Allah melalui dan di dalam TUHAN Yesus Kristus serta melakukan pembinaan sehingga jemaat dapat menjadi terampil dalam mengelolah sumber daya alam dan sumber daya manusianya.

REFLEKSI PERJALANAN MISI ROBERT ALEXNDER JAFFRAY DI INDONESIA (Pdt. Maarjes Sasela)


“Orang ini luar biasa, harus ada orang yang menulis riwayatnya agar generasi berikutnya dapat mengenalnya dan mengingat jasa-jasanya sehingga menjadi dorongan bagi generasi penerusnya.” Ini adalah pernyataan yang diucapkan oleh Jason Stephen Lin murid Jaffray dan penulis buku Dr. R.A. Jaffray Pelayanan dan Karyannya. Pernyataan ini diucapkannya, ketika ia berkunjung ke kuburan Rev. R.A. Jaffray pada tahun 1947. Apa yang dimaksud oleh Jason ketika ia mengomentari sosok Jaffray sebagai orang hebat saat berkunjung di makamnya itu? Dari tulisannya dan tulisan yang ditulis oleh A.W. Tozer, saya temukan bahwa Jaffray merupakan sosok pribadi yang sangat luar biasa, karena beberapa hal berikut ini:

1. Dalam meresponi panggilan TUHAN

Robert Alexander Jaffray, lahir pada tanggal 16 Desember 1873 di Toronto ibu kota Kanada. Ayahnya bernama Robert Jaffray seorang pekerja yang ulet dan tidak kenal menyerah yang berasal dari Skotlandia. Darah Skotlandia yang mengalir di dalam tubuhnya, berasal dari keturunan pekerja keras dan ulet, sehingga meski harus menghadapi tantangan yang berat dalam membangun usahanya, ia tetap kuat berdiri, hingga menjadi pengusaha sukses di Kanada. Dari latar keluarga seperti ini membuat Jaffray secara sosioekonomi bukan biasa-biasa saja, ia berasal dari keluarga yang terbilang kaya dan terhormat. Ayahnya, Robert Jaffray adalah seorang  pengusaha sukses yang bergerak dibidang percetakan dan asuransi dan sampai meninggalnya, Robert Jaffray masih dipercayakan sebagai senator di Kanada. Artinya, keputusan untuk menyerahkan diri masuk di ladang misi bukan didorong oleh maksud untuk mencari popularitas atau materi, melainkan sebuah keputusan yang sadar dan tulus untuk mengabdi di ladang misi.  Jaffray sadar bahwa akibat dari keputusan ini, ia harus berhadapan dengan tantangan yang sangat berat. Beberapa tantangan yang ia hadapi antara lain:

Pertama, tantangan dari diri sendiri, sejak kecil Jaffray memiliki bobot badan yang besar dan ia mengidap penyakit kelainan jantung dan diabetes. Itu sebabnya, orang yang mengenal Jaffray sulit percaya bahwa ia bisa hidup dan melayani di medan pelayanan yang berat dan berisiko tinggi. Tetapi, TUHAN telah membuat Jaffray yang memiliki fisik tidak prima menjadi orang yang hebat dalam pelayanan di ladang yang sangat ekstrim.

Kedua, tantangan dari keluarga. Sebagai orang tua, Robert Jaffray sudah mempersiapkan anak-anaknya, khususnya Jaffray dan kakaknya William untuk melanjutkan usaha yang telah dirintis dengan susah payah, hingga berhasil. Namun, semua yang terjadi di luar dugaannya. Jaffray ternyata lebih memilih melayani sebagai misionaris di Tiongkok Selatan, dari pada melanjutkan bisnis yang telah dibangun oleh ayahnya. Keputusan ini, langsung menuai reaksi keras dari ayah dan kakaknya. Ayahnya sangat kecewa begitu juga dengan William saudara laki-lakinya. Robert Jaffray memutuskan untuk tidak memberi dukungan finansial kepada Jaffray jika ia tetap pergi ke Tiongkok Selatan. Akan tetapi, ancaman itu sama sekali tidak meredupkan keinginannya untuk menjadi misionaris di Tiongkok Selatan.

Ketiga, tantangan dari lingkungan pelayanan. Ketika terjadi perang  dunia Perancis menguasai Indo-Cina, orang-orang Perancis yang setia dan ingin menguasai Indo-Cina berusaha menjaga Indo-Cina seperti mereka menjaga negaranya sendiri. Akibatnya, para misionari diawasi secara ketat karena mereka dicurigai sebagai mata-mata Jerman. Pada tahun 1892 Rev. A.B.Simpson mengunjungi Tiongkok dan memimpin survey cepat tentang pekerjaan misi di negara itu. Ia mendapatkan bahwa propinsi Kwangsi, sebuah daerah yang terletak di Tiongkok Selatan yang luas serta padat penduduk, bukan saja belum mengenal Terang Injil, tetapi juga sangat menentang penyebaran agama Kristen. Dampaknya terhadap pelayanan misi, semua orang asing yang masuk ke wilayah ini dicurigai. Tentu dalam kesempatan yang sangat terbatas ini, kita tidak dapat menguraikan satu persatu tantangan yang dihadapi oleh para misionaris dan masih banyak tantangan lainnya yang sangat berat yang akan dihadapi oleh para utusan Injil ini. Namun, mereka tidak pernah gentar terhadap tantangan itu. Ketika, Jaffray datang ke Indonesia, ia juga harus berhadapan dengan tantangan yang sangat berat, khususnya dari penjajah Jepang  yang menguasai Indonesia pada waktu itu. Jaffray mengakhiri hidupnya di kamp intermiran Jepang pengungsian pada tanggal 29 Juli 1945.

2. Dalam hal keunggulan spiritualitas

Jangan ditanya soal spiritualitas Jaffray, karena ia telah terbiasa membangun hubungan yang sangat kuat dan intim dengan TUHAN sejak berusia muda. Pada usia enam belas tahun, Jaffray menyerahkan hidup sepenuhnya kepada TUHAN. Panggilan yang terpatri di dalam hatinya itu semakin jelas ketika ia menyerahkan diri untuk melayani TUHAN dan bersedia dibentuk di sekolah pelatihan misionaris yang didirikan oleh Rev. Albert Benyamin Simpson di New York. Sejak masa pembentukan di Sekolah Alkitab yang didirikan oleh Rev. Benyamin Simpson, Jaffray sudah terbiasa dengan disiplin rohani yang ketat. Dalam sejarah perjalanan misi Rev. Alexander Jaffray, ia tidak akan pernah bertindak mengeksekusi misi jika ia belum mendapat “konfirmasi” dari TUHAN yang meyakinkan dirinya untuk melaksanakan misi tersebut. Rev. Alexander Jaffray memiliki kecenderungan kuat untuk selalu bertindak atas keyakinan bahwa TUHAN, menginjinkan rencana misi itu dijalankan. Lin menulis, “Mereka semua mengakui betapa saleh hidupnya dan betapa ia mendalami kehendak TUHAN lebih daripada orang yang lain. jika pada saat awal bekerja masih belum tampak apa-apa, sesudah selesai bekerja, hasil yang menggembirakan pun dapat dilihat. Tidak mengherankan jika setiap orang yang mengenalnya akan merasa kagum karena ia memiliki minyak hikmat di atas kepalanya dan cinta kasih yang murni dalam hatinya sehingga ia mendapatkan kemengan dan kemuliaan yang tidak terhingga.” Seorang Sahabat di pengasingan Jepang yang menjadi akhir dari perjuangan misi Jaffray yang bernama Rev. F.R. Whetzel yang berasal dari utusan Injil Batjan Immanuel Mission. Whetzel adalah orang terakhir yang mendapat kesempatan untuk bercakap dengan Jaffray sebelum pada malam hari 29 Juli 1945, Jaffray menghembuskan nafas yang terakhir. Whetzel menulis, “Salah satu berkat yang besar dalam hidup saya adalah bahwa saya mendapat hak istimewa untuk ditawan bersama-sama dengan Dr. R.A. Jaffray di pulau Sulawesi. Saya mengasihi dia sebagai seorang besar dengan karunia penglihatan dan iman.” Inilah bukti keunggulan spiritualitas Jaffray.

3. Dalam menjalankan tugas kepemimpinan

Dalam hal kepemimpinan, Jaffray memiliki kemampuan yang mumpuni. Beberapa tugas penting yang ia emban semuanya dapat dilakukan dengan baik. sebagai seorang pemimpin yang yakin akan panggilannya, Jaffray tidak pernah ragu untuk melakukan sesuatu yang dapat memperluas layanan misi. Sebagai seorang pemimpin yang bersandar total pada kasih karunia Allah, Jaffray tidak pernah ragu dengan kondisi fisiknya yang lemah atau dengan kesulitan dana serta beratnya ladang misi yang dihadapi. Baginya kedaulatan Allah tidak dapat dibatasi oleh situasi dan kondisi yang paling berat dan paling ekstrim sekalipun. Salah satu contoh adalah pada waktu Jaffray mendirikan The Chinese Foreign Missionary Union (CFMU). Dalam lembaga inilah para misionaris muda dibentuk dan menjadi pembawa Obor Injil yang berdiri di garis depan pelayanan peabaran Injil. Dari badan misi ini berdirilah gereja-gereja yang kita kenal saat ini yaitu GPMII, Gepekris, dan GKAA yang tersebar dari Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Pulau Jawa, Pulau Bangka, sampai Belitung. Lin menulis, “Dr. Jaffray bukan saja dikenal sebagai seorang misionaris atau akademisi, melainkan juga seorang pemimpin yang hebat. Kepemimpinan beliau sangat menonjol, dan semua itu ditopang oleh karakter, kompetensi, dan kesediaannya untuk berkorban.”

4. Dalam menangkap, merumuskan dan mengeksekusi visi.

Kemampuan kepemimpinan seorang pemimpin bukan semata-mata terletak pada kemampuan retorikanya, melainkan bagaimana ia dapat mewujudkan visi menjadi kenyataan. Jika saat ini, ada gereja GPMII, Gepekris, GKAA, dan tentunya Gereja Kemah Injil Indonesia yang sudah memiliki sekitar 3000 jemaat, ini bukan terjadi dengan sendirinya, ada sebuah visi yang diyakini diberikan TUHAN untuk dilakukan oleh seorang Jaffray. Lin menulis, “Karena Rev. R.A. Jaffray memiliki hubungan yang erat dengan TUHAN, ia selalu mendapatkan inspirasi dan pandangan yang luar biasa. Bahkan, sebelum berangkat ke Hindia Belanda di Asia Tenggara, ia sudah mendapatkan sebuah visi baru.” Adrianus Harjanto, Ketua Umum MPH GKKA Indonesia berkomentar dipengantar buku yang ditulis oleh Stephen Lin dengan sangat indah menulis, “Visi yang mengglobal dan sentuhan hati beliau yang mendalam telah menggoreskan sebuah karya besar dalam bidang kepemimpinan.”

Penutup

Kini delapan puluh sembilan tahun sudah dilewati oleh Gereja yang merasakan langsung sentuhan pelayanan Jaffray, sebuah karya yang tidak akan pernah sirna dari bumi Pertiwi ini. Gereja Kemah Injil Indonesia, mungkin tidak pernah dibicarakan atau disebutkan dalam forum-forum besar di negeri ini, tetapi Gereja Kemah Injil Indonesia telah ikut mensukseskan program pemerintah untuk mencerdaskan bangsa. Dari pelayanan Jeffray saat ini banyak lahir para pemimpin baik di lingkungan gerejawi, pendidikan teologi dan pendidikan umum, perusahaan swasta, dan pemerintahan. Semua tidak lepas dari jasa pelayanan Rev. Alexander Jaffray.

Jaffray telah tiada, namun sejarah gereja akan mencatat namanya dan akan selalu diingat dari generasi ke generasi bahwa ada seorang yang rela meninggalkan kenyamanan hidup dan memberi diri melayani di daerah yang penuh dengan tantangan. Dari karya pelayanannya itu telah melahirkan pemimpin yang ikut berpartisipasi dalam pembangun bangsa tercinta ini. Kiranya, semangatmu, keberanianmu, terwariskan pada generasi ini dan akan datang. Selamat Ulang Tahun Gereja Kemah Injil Indonesia yang ke-89.

 

HANYA UNTUK MEREKA YANG BERJIWA BESAR